
Ada beberapa kursi kosong. Malina bergerak ke dalam dan memilih duduk di pinggir, dekat jendela yang terbuka. Kursi di sampingnya belum terisi. Udara cukup dingin, digesernya kaca jendela sampai rapat. Tas warna hitam yang mengembung ia letakkan di antara kedua kaki.
Wajah cekung dan bibir kering tanpa pemerah menambah getir penampilannya. Apalagi ia sama sekali tidak tersenyum pada siapa atau apa pun. Sesekali ia semburkan napas keras-keras, amat disengaja. Seseorang di depannya kadang menoleh. Mungkin terganggu. Mungkin penasaran. Ia tidak hirau. Wajahnya ia tempelkan dengan ketat ke kaca jendela. Kalau ada orang di jalan yang memerhatikan, mukanya pasti mirip kaleng penyok.
Ia hanya merasa alangkah senang kakek dan neneknya itu. Bermain kotor dan tidak ada yang melarang (sesungguhnya ini bukan semata-mata masalah boleh bermain kotor atau tidak, tapi tentang kebebasan yang diidamkan semua anak kecil).
Anak lelaki di sampingnya menguap. Ia perhatikan wajah itu tampak berat. Wajah cemberut yang menahan beban. Mungkinkah ia habis dimarahi? Bisa pula ia sedang malas sekolah tapi dipaksa untuk tidak membolos oleh ibunya. Jangan-jangan ia tengah ketakutan karena lupa membuat PR dan akibat dari itu ia pasti mendapat hukuman berdiri di halaman sekolah sampai jam pelajaran berakhir.
Buru-buru Malina mengatakan pada dirinya agar berhenti memikirkan masalah di luar kehidupannya. Hidupnya sendiri sudah terlampau rumit. Sekarang ia sedang menjauhi kerumitan itu. Ia ingin memisahkan diri. Namun dalam bahasa orang-orang di sekelilingnya, ia sedang ingin lari. Mau dibantah percuma. Maka ia benarkan pendapat itu dengan keputusan yang membuatnya berada dalam bus tua --tempat ia bertemu segala macam kejorokan yang dulu mungkin saja tidak terbayangkan bisa sedekat ini.
Dalam bus tua, Malina meremas jemarinya seperti remaja yang baru saja melompat dari jendela kamar dan menemukan ruang kosong yang terlalu lebar. Ia mengalami euphoria yang justru membuatnya kebingungan akan melangkah ke mana.
***
***
Menangiskah ia? bisik Malina kalut. Memang ia sudah menyiapkan semua kebutuhan anak itu. Termasuk catatan mengenai berapa botol susu yang harus diberikan atau berapa kali anak itu makan nasi atau buah dalam sehari. Tidak lupa ia juga meninggalkan nomor telepon dokter anak langganannya. Untuk berjaga-jaga kalau anaknya terserang pilek di musim yang tidak tentu ini.
Ia tahu suaminya belum pernah mengurus anak seorang diri, tapi ia percaya semua akan baik-baik saja. Bukankah dulu ia tidak tahu apa-apa tentang bayi sampai kemudian ia sudah menjalani peran sebagai ibu selama ini. Kalau ia bisa melewatinya, tak ada alasan untuk tak percaya pada suaminya. Lagi pula suaminya bisa minta bantuan pembantu jika diperlukan, walau selama ini mereka jarang menyerahkan hal-hal yang mereka anggap bisa dikerjakan sendiri, apalagi urusan anak, pada orang lain.
***
***
Dan dengan lelaki yang tidak asyik itulah ia justru menikah lima tahun lalu. Lelaki yang mengajarinya menjadi tukang bersih-bersih; dari gorden, lantai, dinding, keramik, koleksi botol parfum, sofa, dan masih banyak lainnya. Bertahun-tahun. Padahal ia senang membiarkan kotor itu tetap menempel. Ia bisa membauinya, meresapi. Ia bosan, dari kecil mendengar teriakan orang-orang saat ia lupa memakai sandal atau lupa mencuci tangan sebelum mengambil sekeping biskuit. Kenapa sih orang dewasa, saat itu, tak sedikit pun memberinya pilihan untuk menyukai tanah atau debu di jejarinya.
Kotor adalah kebebasan. Bersih adalah keterikatan. Ia memilih kotor. Apa yang kaucari Malina? tanya suaminya tadi malam. Selama ini kau berbohong dan pura-pura bahagia menjadi bagian dari kami?
Kau pasti tahu bukan itu yang kumaksudkan.
Itu kenyataan yang kami rasakan.
Kau seharusnya mengerti perasaanku, keinginanku. Aku tak bermaksud merusak apa-apa. Aku cuma butuh sendiri, melakukan sesuatu yang kusukai sekali waktu. Semacam kebebasan. Tanpa kamu. Tanpa anak kita. Tanpa namamu di belakang namaku. Tanpa rutinitas ibu rumah tangga yang menjemukan. Tanpa catatan belanja yang mesti kulaporkan tiap minggu padamu. Tanpa tatapan pembantu yang telah kau sogok untuk mengawasiku. Tanpa orang tua yang masih saja merasa berhak mengatur kehidupan kita seakan kita belum cukup mampu untuk membuat keputusan sendiri.
Kau menyakiti kami. Kau benar-benar menyakiti kami.
Itu tidak benar.
Ternyata kau tidak mengerti sedikit pun. Bukan. Bukan itu yang kuinginkan. Aku butuh sendirian dan itu berbeda dengan keinginan menyakiti orang lain. Berbeda sekali. Sayang, kau tak paham.
***
Ini memang tidak sederhana, kemam Malina, sekali lagi, bukan masalah bersih atau kotor semata. Namun ini tentang dirinya yang ingin berkata-kata, tertawa, berpikir, mengkhayal, membuat puisi, membaca, menulis surat, menelepon teman semasa kuliah, mengadakan perjalanan, menonton film, kopi darat dengan kenalan baru, menghadiri peluncuran buku, atau menghabiskan waktu yang sifatnya lebih personal dan tentu menyenangkan untuk dirinya.
Aku tak memiliki keyakinan kau bisa memberiku kesempatan untuk itu jika kau sama sekali tidak paham meski aku sudah berkali-kali mengatakannya, Malina memejamkan matanya.
Lalu di sinilah aku, masih dalam bus tua dengan bunyi mesin yang meraung-raung. Aku punya perasaan kalau bus yang kutumpangi akan membawaku ke suatu tempat yang sangat jauh, tempat di mana aku akan melepaskan segala yang melekat di kehidupanku. Ini mungkin sebuah dosa, pengingkaran paling jahat. Hanya saja, sejak saat ini, aku akan berhenti salah tingkah seolah-olah aku baru saja mencuri sesuatu dari rumah orang lain. Aku kini memiliki tubuhku sendiri.
Malina menggosok matanya, dan punggung tangannya sedikit basah.
***
Bus tua menyusuri jalan yang terus menanjak. Jalan yang makin lama makin sempit. Semak-semak juga makin sesak di kanan kiri jalan. Rupanya bus ini menuju ke puncak bukit. Malina melihat ke sekelilingnya. Ia tercengang. Dia penumpang satu-satunya yang belum turun. Tidak sedikit pun ia ingat, di titik mana saja bus ini berhenti dan menurunkan penumpangnya.
Malina berdiri sambil berpegangan pada sandaran kursi. Hati-hati ia bergerak ke depan, ke arah sopir yang berambut sekusam debu. Tepat di belakang sopir itu, ia bertanya dengan suara yang sengaja dikeraskan: Di mana tempat perhentian terakhir bus ini.
Bus mendadak berhenti. Malina hampir saja tersungkur ke depan dan ia bersungut-sungut. Sopir bus membalikkan badannya, menatap Malina dingin, sembari menjawab: Di neraka.
Seketika tubuh Malina limbung. Mata sopir bus itu sama persis dengan mata suaminya.***
Jogjakarta, 29 Maret 2010
*) Yetti A.KA, bergiat di Komunitas Daun, Padang
Dikutip dari: jawapos.com
...!!!Harap kunjungi situs Asli!!!!...
<<---Dan pilih iklannya agar kita saling menguntungkan--->>
Anda Mendapat Informasi, Merekapun Juga Dapat Income
Pesan dari www.cari-barang.com
0 komentar:
Posting Komentar