Pages

Sabtu, 06 Maret 2010

Pat Ngiat Pan

Cerpen Sunlie Thomas Alexander

DIAM-diam aku masih sering berharap dapat melihat Song Ngo1. Perempuan cantik di zaman Dinasti Hsia yang terbang ke bulan setelah menelan pil tumbuh-tumbuhan itu. Sering kubayangkan tubuhnya yang berbalut gaun putih panjang berenda-renda tembus pandang, melayang-layang di atas tanah bulan yang berbatu-batu dan penuh lubang dalam sebuah pemandangan yang sempurna.

"Song Ngo akan selalu menaburkan kembang di permukaan bulan ketika purnama penuh setiap tanggal lima belas bersama ibumu." Kuingat ayah, "Terlebih setiap tanggal lima belas bulan kedelapan, ketika orang-orang menggelar meja sembahyang di halaman rumah." Maka aku kecil pun duduk dengan manisnya di teras depan rumah, memandang bulan yang sebesar nampan dengan takjub. Menunggu dengan penuh minat dan harap. Meskipun kemudian sampai jam dua belas malam dan sembahyang harus diakhiri, Song Ngo tak juga kunjung muncul. Apalagi ibu. Aku hanya dapat menelan kekecewaan dan menahan marah. Dan biasanya ayah akan membujukku dengan kue bulan bekas sembahyang: Ngion Kau, Teu Sa Piang, Nyuk Piang, dan lain-lainnya yang begitu manis. Namun mataku sudah sedemikian berat untuk dapat menemaninya minum teh. Hingga tinggallah ia sendirian di teras rumah, memetik gitar tuanya sambil menembangkan pantun-pantun:

Ngiat kong an liong, keu an phoi
Jai jap hoi-hoi, thian fung choi
Jai jap hoi-hoi, thian lu sui
Ako ta pan, thian moi loi�2
* * *
AKU pulang lagi ke Belinyu. Setiap tahun pada bulan kedelapan Imlek, aku selalu menyempatkan diri untuk pulang. Lebih-lebih setelah ayah meninggal. Sepanjang perjalanan di atas KM Bukit Raya milik Pelni yang kutumpangi dari Tanjung Priok, bulan di langit yang nyaris sempurna tampak menyerpuh keperakan dari palka kapal, mengetok-ketok pintu masa silam yang sentimentil. Begitu mempesona. Ai, purnama Pat Ngiat Chun Chiu3 memang selalu akan terlihat lebih indah dari biasanya, demikian selalu dikatakan ayah dulu. Dan di permukaan bulan itu, aku seolah-olah melihatnya sedang memetik gitar tuanya sambil menyenandungkan pantun-pantun berbahasa Hakka. Dia tersenyum kepadaku. Senyum teramat kurindukan yang selalu membuatku tenteram.

Ayah adalah orang yang lembut. Sejak kecil hampir tidak pernah ia memarahiku, apalagi sampai memukul. Manakala aku sudah terlewat nakal misalnya, terutama sewaktu beranjak remaja, cukuplah ia memelototkan mata saja sudah membuat aku tertunduk tidak berani memandangnya. Tapi yang paling kukagumi dari dirinya bukanlah kelembutannya sebagai seorang ayah tersebut, ataupun ketegarannya membesarkanku seorang diri dengan mesin jahit bututnya. Tetapi, kesetiaannya kepada ibu. Ah, ibu yang lebih kukenal dari foto buram terbingkai di kamar ayah dan dari cerita-ceritanya. Hanya samar-samar saja kuingat sosok sebenarnya dari perempuan cantik itu. Aku hanya ingat beliau dulu selalu menggoyangku di ayunan sarung sambil menembangkan pantun-pantun Hakka yang suka dinyanyikan ayah itu, hingga aku terlelap. Pantun-pantun yang percaya atau tidak, selalu meruapkan harum hio setiap kali ditembangkan.

Ibu memang meninggal terlalu muda, ketika aku baru berusia lima tahun. Konon, ayah tidak menangis saat itu. Tetapi beberapa teman dekatnya --hal ini pernah dikatakan Ngian Suk4, seorang teman baik ayah kepadaku-- tahu kalau hatinya remuk redam. Cintanya pada ibu, kata Ngian Suk, tak terbayangkan. Begitu besar. Hingga ia rela mengorbankan segala-galanya demi ibu. Termasuk keluarga dan hak warisnya. Melawan adat dan pantangan turun-temurun leluhur yang sama sekali tabu dilanggar, menurut kakek sama saja dengan menentang Thian5. Ayah diusir dari rumah.

"Aku tak peduli dengan apa pun, selain dapat menikah dengan Ngiat Ngo!" Syahdan ayah berteriak-teriak lantang di depan kakek-nenek dan saudara-saudaranya sebelum pergi.
* * *
NGIAT Ngo! Berarti angsa bulan, betapa nama ibu itu begitu meresap dalam batinku. Namanya sebagai salah seorang anak angkat dewi bulan Song Ngo. Dari ayahlah aku mengetahui semua riwayat mengenai hal itu. Cerita ayah, sewaktu kecil ibu selalu sakit-sakitan. Hingga nenek kemudian membawanya kepada seorang sinsang6. Berdasarkan petunjuk dari kitab sam se su7, sinsang itu kemudian menyimpulkan kalau jiwa ibu tidak selaras dengan nenek sebagai orangtua dan anak, tidak sang sen8 istilahnya. Maka tiada cara lain yang lebih bijak, kata sang sinsang, selain ibu harus diangkat anak oleh dewi bulan dan berganti nama.9 Maka melalui sebuah ritual kecil di kelenteng, digantilah nama ibu dari Kim Ngo yang artinya angsa emas menjadi Ngiat Ngo. Sesudah itu ibu tidak lagi sakit-sakitan. Namun sebagai seorang anak angkat Song Ngo, pada setiap tanggal lima belas bulan ke delapan Imlek, ibu atau keluarganya harus mengadakan sembahyang bulan di halaman rumah sebagai bentuk kebaktian kepada sang dewi.

Dewi yang karena kesucian hatinya telah menyelamatkan bulan dari tangan pemanah sakti, Hou Yi yang tak lain adalah suaminya sendiri. Syahdan cerita, ribuan tahun yang lalu pada tanggal lima belas bulan delapan Imlek, kaisar memerintahkan Hou Yi untuk memanah jatuh rembulan karena cemburu pada permaisurinya yang setiap malam purnama cerah lebih senang duduk memandang bulan daripada melayaninya. Untuk melindungi bulan dari panah sakti suaminya, Song Ngo yang mengetahui perintah rahasia sang kaisar tersebut pun rela menelan sejenis pil dari tumbuh-tumbuhan hingga tubuhnya menjadi seringan kapas dan terbang ke bulan. Karena cintanya yang begitu dalam kepada sang istri, maka Hou Yi dengan terpaksa melawan perintah kaisar. Berulang-ulang ayah senang sekali mengisahkan dongeng itu kepadaku dulu, sambil memandang rembulan yang terang benderang di teras depan rumah.

Ah, barangkali selama dua atau tiga minggu, aku akan berada lagi di rumah. Rumah tua yang dulu dibeli ayah dengan jerih payahnya selama puluhan tahun sebagai tukang jahit dan kini hanya ditunggui oleh Fuk Suk, bujangan tua kawan karib ayah. Pertama-tama, seperti biasanya yang akan kulakukan sesampai di Belinyu tentu saja berziarah ke makam ayah dan ibu di pemakaman Kung Bu Jan. Sesudah itu barangkali aku akan mengunjungi beberapa teman sekadar berkabar, juga menyaksikan ritual Lok Thung10 di pelataran kelenteng Kuto Panji, kemudian melaksanakan sembahyang bulan.

Tanggal lima belas bulan ke delapan, tinggal empat hari lagi. Rasanya aku sudah tidak sabar untuk menata kue-kue bulan di atas meja sembahyang, membakar hio, dan duduk di teras rumah dengan secangkir teh pahit sambil menikmati keindahan purnama Pat Ngiat Pan. Siapa tahu Song Ngo muncul bersama ibu, menaburkan kembang setaman�batinku getir.
* * *
AKU kembali memandang asap hio yang meliuk-liuk liar dibawa angin malam seperti seekor naga yang nakal itu. Seolah-olah mengajakku menari seperti waktu kecil, di mana aku selalu berjingkrak-jingkrak setiap kali melihat asap hio yang meliuk-liuk pada saat sembahyang bulan digelar di halaman rumah. Biasanya ayah akan menegurku: "Duduklah yang tenang Jong, kalau ingin melihat Song Ngo dan ibumu!" Maka aku pun terdiam, duduk memeluk lutut di teras sambil memandang bulan, dengan sesekali melirik berbagai jenis kue bulan, buah-buahan segar, batang tebu, kembang tujuh rupa, tiga sloki teh, kelapa muda, bedak, sisir, cermin dan lain-lainnya yang diletakkan sebagai sesajian di atas meja sembahyang. Kemudian perlahan-lahan harum hio akan mulai merasuki pernafasanku, membuatku serasa melayang-layang. Kadang-kadang aku menumpang awan seperti Sun Go Kong, adakalanya pula aku duduk di punggung seekor naga. Hanya ketika itulah aku dapat mendengar lagi suara ibu yang begitu merdu menembangkan pantun-pantun di samping tempat tidurku. Tetapi hal ini tidak pernah berlangsung lama, sesaat kemudian aku sudah menemukan diri kembali di hadapan meja sembahyang. Dengan embun yang turun perlahan mengusap sesajian yang tergelar di atas meja dan batang-batang hio yang semakin pendek dengan abu berjatuhan.

Langit begitu bersih tanpa awan. Sejauh mata memandang, hanya bintang-bintang yang berkerlap-kerlip dan purnama lima belas Imlek yang tergantung di atas langit bagaikan lampion. Bulan yang begitu jernih dan terang. Mungkinkah kali ini aku dapat melihat Song Ngo muncul melayang-layang diiringi ibu dengan keranjang penuh kembang-kembang? Lagi-lagi pikiran liar itu membuatku kecut sendiri. Pikiran kanak-kanak yang membatu abadi. Ai!

"Ibumu menjadi dayang Song Ngo di bulan, Jong," desis ayah sambil menatap purnama. Dimainkannya rokok kretek di tangannya berputar-putar, lalu dihisapnya dalam-dalam dan menghembuskan asapnya yang pekat ke udara. Asap itu meliuk-liuk naik seperti gumpalan asap hio. Tinggi membubung hingga hilang pandang. Menyampaikan pesan dari alam mayapada.

"Setiap kali kita sembahyang dan mengucapkan doa, asap hio akan mengantarkan doa kita kepada Thian, para dewata, dan orang yang kita tuju," ujar ayah penuh keyakinan. Karena itu aku harus berdoa dengan khusyuk, penuh takzim agar para bidadari dan dewata mau berbalas tabik. Memberikan berkah perlindungan dan rezeki semusim. Tapi sebagai anak nakal, setiap kali berdoa bersama ayah di depan meja sembahyang, diam-diam aku suka mengintipnya. Melihat bagaimana kekhusyukannya mengangkat hio di depan wajah dengan sepasang mata terpejam rapat sementara bibirnya berkomat-kamit mengucap doa untuk ibu.

Begitulah kenangan-kenangan itu selalu mengantarku pulang ke Belinyu pada setiap tanggal lima belas bulan delapan Imlek. Pulang untuk mengadakan ritual sembahyang bulan buat ibu. Agar ibu senantiasa berbahagia di bulan bersama Song Ngo, tukas ayah. Sampai akhir hayatnya, selama berpuluh tahun ayah memang tidak pernah sekali pun lalai mengadakan sembahyang bulan untuk ibu. Betapa kesetiaan dan cintanya itu membuatku terharu.

"Bagi ayahmu, ibumu adalah perempuan yang sempurna. Tidak ada perempuan yang sepadan dengan dia di dunia ini," tukas Fuk Suk yang tahu-tahu sudah berada di sampingku. "Padahal sembahyang bulan sebenarnya tak perlu lagi dilakukan bila orang yang menjadi anak angkat sang dewi sudah meninggal."

Aku hanya tersenyum, lalu menuntun lelaki tua itu ke bangku panjang di teras rumah. Kemudian menuangkan secangkir teh pahit untuknya dan menawarinya rokok. Dia meraih bungkus rokok yang kusodorkan, mengeluarkan isinya sebatang dan menanyakan korek api. Namun baru saja dua hisap, dia sudah terbatuk-batuk.

"Fuk Suk batuk? Ah, saya tidak tahu. Lebih baik jangan merokok kalau batuk, Suk. Sudah berobat?" tanyaku tidak enak. Tetapi dia hanya menyeringai.

"Ai, kau ini Jong, tak usahlah repot mencemaskan orang tua ini. Beginilah kalau sudah tua, badan celaka ini dingin sedikit saja sudah bertingkah macam-macam. Tak perlulah berobat segala!" Dia tertawa, "Hay, padahal dulu A Suk bersama ayahmu keluar masuk kampung berjualan kain. Puluhan kilo kami berjalan kaki, tidak ada sepeda, apalagi motor kayak orang-orang sekarang."

"Padahal ayahmu itu fu lo chai...11 Tetapi demi ibumu, ia rela hidup susah. A Suk sungguh salut padanya!" Fuk Suk terus berkisah. Sepasang matanya yang sudah rabun berbinar-binar, tak berkerdip menatap rembulan. Seakan-akan ingin meneropong semua kenangan.

Aku jadi termangu. Perempuan sehebat apakah ibu sesungguhnya, sehingga ayah yang begitu lembut dapat menjadi demikian keras melawan kakek? Aku memang telah terobsesi untuk mencari sosok seorang perempuan seperti ibu yang selama ini diceritakan ayah. Dan sampai usia yang sudah melewati tiga puluh ini, aku masih tetaplah melajang. Dulu, aku memang pernah dekat dengan seorang perempuan bernama Diana (Ah, nama yang berarti gadis bulan dalam bahasa Inggris). Tetapi alangkah jauhnya perempuan matrealistis itu bila harus aku sandingkan dengan sosok ibu.

Fuk Suk kembali menghirup teh yang kutuangkan. Cerita-cerita terus mengalir deras dari mulutnya. Konon, orang yang bershio ular tidaklah boleh menikah dengan orang bershio ular lainnya, demikianlah sudah kepercayaan yang turun-temurun. Manakala ada yang berani melanggar, alamat bala akan jatuh menimpa. Karena sepasang ular akan saling mematuk. Keluarga yang dibangun tidak pernah akan harmonis dan tenteram, penuh oleh percekcokan. Itulah yang disebut dengan sat sen.12 Dan bila ternyata pernikahan itu berjalan bahagia, itu pertanda kelangsungannya tidak akan lama. Bukan pula ketidakmungkinan, bila bala itu menjalar-jalar hingga kepada keluarga masing pihak. Itulah pokok persoalannya, ketika ayah jatuh cinta kepada ibu. Sama-sama bershio ular!

Ah, dua orang muda yang malang. Tentu bukanlah salah mereka, tetapi takdir langit semata. Tetapi yang membuat kakek lebih terperangah, ayah justru membuat kesalahan semakin besar karena ibu ternyata adalah putri musuh bisnisnya! Bukan sembarang musuh, tetapi Bong Hai Khin adalah musuh besar dengan dendam berkarat. Konon, sebagai sesama pendatang dari Kwan Tung, kedua-duanya sama-sama membuka toko kelontong di pasar. Sama-sama beruntung besar. Namun Bong Hai Khin --yang notabene adalah kakekku juga--tak puas berbagi untung dan bertindak culas. Diam-diam dijalinnya kongsi dengan Belanda, hingga dapat beroleh beras-gula-gabah lebih murah dari syah bandar. Dan dijualnya pula dengan harga di bawah harga resmi pasaran. Kakek kelimpungan. Berbondong langganan berpindah ke toko besar Bong Hai Khin. Dendam pun menetas.

Dan meskipun Bong Hai Khin kemudian jatuh bangkrut oleh entah sebab musabab --barangkali karena soi13, lalu meninggal, dendam itu tak juga terpadamkan. Maka sungguh lancang dan celaka, jika ayah berkehendak meminang putrinya! Perempuan yang sama-sama bershio ular, pantangan temurun yang jangan sesekali coba dilanggar.

Bulan Pat Ngiat Pan semakin terang, berkilau keemasan. Fuk Suk kembali menengadah. Aku mengalihkan pandang kepada batang-batang hio yang semakin pendek terbakar dengan jelaga berjuntaian mengotori meja sembahyang, lalu kembali mengangkat wajah.

"Seperti apakah sebenarnya Song Ngo itu, Ayah?" Aku teringat pada pertanyaan polos yang pernah kulontarkan itu. Ayah hanya mengusap-usap kepalaku. "Dewi amat cantik, Jong. Sehingga setiap orang yang melihatnya pasti akan terpesona seumur hidupnya."

"Cantik mana dengan ibu?"
"Ibumu secantik Song Ngo, Jong�," jawab ayah dengan lemah lalu merangkul bahuku. Aku tidak pernah melupakan wajahnya yang begitu kuyu saat itu di bawah terang cahaya purnama lima belas bulan ke delapan.

Jauh di masa kuliah kemudian aku baru tahu kalau tradisi sembahyang bulan ini berasal dari jzman Dinasti Yuen dan mempunyai makna yang amat dalam bagi bangsa Han sebagai suku mayoritas di Cina daratan. Menurut literature yang pernah kubaca, tradisi ini lahir di tengah kehidupan orang Han yang sangat sengsara di bawah pemerintahan Kerajaan Yuen yang zalim dan sewenang-wenang. Sehingga Jenderal Zhu Yuan Zhang, seorang pejuang bangsa Han, mengajak masyarakat untuk melawan Kerajaan Yuen. Dan pada malam hari perayaan Pat Ngiat Pan yang sengaja diciptakan sebagai kedok, dibagikanlah kue bulan yang bagian dalamnya telah disisipi dengan selebaran yang isinya mengajak masyarakat mengangkat senjata di malam hari untuk menyerang Kerajaan Yuen. Sampai akhirnya Jenderal Zhu Yuan Zhang dan masyarakat Han dapat mendirikan Kerajaan Ming.

Aah� Harum hio meruapkan aroma yang gaib, semakin santer menusuk pernafasan. Membubungkan keliaran alam pikiran. Pikiran kanak-kanak yang naif menisik malam, yang diam-diam masih menjadi sebuah harapan. Harapan dapat melihat Song Ngo dan ibu melayang-layang di atas permukaan bulan dengan sekeranjang kembang�tak mampu kusingkirkan! ***
Prancak Dukuh-Yogyakarta , Juni 2004


Catatan Kaki

* Pat Ngiat Pan: Perayaan Pertengahan Bulan Delapan, atau dikenal juga dengan Chung Ciu Ciat (Perayaan Pertengahan Musim Gugur) dirayakan pada setiap tanggal 15 bulan 8 Imlek. Disebut pula sebagai Ngiat Sin Ciat (Pesta Dewi Bulan).

1. Song Ngo (dialek Hakka) atau Chang ’ge (dialek Mandarin) adalah dewi bulan dalam mitologi China.
2. Bulan begitu terang, anjing begitu riuh menggonggong
Daun nyiur melambai-lambai, langit memerah rejeki
Daun nyiur melambai-lambai, embun turun dari langit
Kakak berdandan, bidadari pun datang.
3. Bulan delapan Imlek, yang dirayakan sebagai bulan dewa-dewi.
4. Paman (adik ayah), atau dapat digunakan juga untuk menyapa orang yang lebih muda dari ayah.
5. Langit, kata pengganti Tuhan bagi orang Cina.
6. Dukun Cina.
7. Kitab Tiga kehidupan, semacam buku primbon.
8. Keselarasan Jiwa.
9. Bila seorang anak diberikan kepada seorang dewa sebagai anak angkat, maka ia harus menggantikan namanya dengan nama yang mengandung unsur dewa tersebut. Misalnya dalam kasus cerita ini, tokoh Ngiat Ngo yang dipersembahkan kepada dewi bulan, nama depannya memakai kata Ngiat (bulan).
10. Ritual kerasukan dewa.
11. Anak orang kaya.
12. Orang Cina mempercayai setiap jiwa manusia memiliki naluri bawah sadar untuk saling menyakiti bila unsur (entah itu shio atau hongsui) yang menaungi mereka tidak cocok.
13. Sial.



Dikutip dari: kumpulan-cerpen.blogspot
...!!!Harap kunjungi situs Asli!!!!...
<<---Dan pilih iklannya agar kita saling menguntungkan--->>
Anda Mendapat Informasi, Merekapun Juga Dapat Income

Pesan dari www.cari-barang.com

0 komentar:

Posting Komentar

Total Pageviews