Pages

Sabtu, 06 Maret 2010

Bunda, Kapan Ayah Pulang?

Cerpen Dodiek Adyttya Dwiwanto

Suara deru motor terdengar cukup kencang dari arah depan rumah. Ali kecil langsung berlari tergopoh-gopoh menuju ke ruang tamu.
“Ayah datang! Ayah datang!”

Tapi sesampainya di ruang tamu, Ali kecil yang mengintip dari jendela ruang tamu hanya bisa mendapatkan kekecewaan yang mendalam. Bukan sang ayah yang datang melainkan Pak Salim, tetangga depan rumah yang akan berangkat ke kantornya pagi ini. Seperti biasanya, Pak Salim yang bekerja sebagai pegawai Departemen Keuangan itu berangkat saat waktu menunjukkan pukul 06.30 WIB. Pak Salim berangkat pagi agar tidak terlambat sampai kantor.

Dengan langkah gontai, bocah empat setengah tahun ini kembali ke ruang tengah sambil memegang mobil-mobilan kesayangannya. Sebuah replika mobil Formula One berwarna merah dengan nama Michael Schumacher di salah satu sisinya.

“Bukan Ayah yang datang! Tapi Pak Salim berangkat kerja!”

Bunda hanya tersenyum melihat celoteh putra tunggalnya. Ali memang baru berumur empat setengah tahun tetapi ia cerdas dan kritis dibandingkan bocah sebayanya. Sayang, bunda tidak bisa menyekolahkannya di playgroup.

Biayanya kelewat mahal. Bunda hanya bisa memasukkan Ali ke taman kanak-kanak lalu mungkin akan melanjutkan ke sekolah dasar. Namun, Ali belum berumur lima tahun. Ali hanya bisa belajar dari bunda. Belajar mengeja, belajar berhitung, dan juga belajar menggambar.

Ali kembali melanjutkan permainannya seorang diri. Di kompleks ini, jarang sekali ada bocah sebayanya. Kebanyakan yang tinggal di sini adalah pasangan-pasangan muda yang baru menikah, yang sudah tentu belum memiliki anak. Atau pasangan-pasangan paruh baya yang sudah pensiun dan sengaja membeli rumah di kompleks yang cukup jauh dari keramaian untuk menghabiskan masa pensiun dan masa tuanya.

Sementara Ali bermain dengan mobil-mobilannya, Bunda pun melanjutkan pekerjaannya. Menyiapkan sarapan pagi bagi dirinya dan juga Ali kecil.

Suara deru motor kembali terdengar cukup kencang dari arah depan rumah. Ali kecil lagi-lagi langsung berlari tergopoh-gopoh menuju ke ruang tamu.
“Ayah datang! Ayah datang!”

Tapi sesampainya di ruang tamu, Ali kecil yang mengintip dari jendela ruang tamu hanya bisa mendapatkan kekecewaan yang mendalam. Bukan sang ayah yang datang melainkan Pak Suryo, tetangga sebelah kanan rumahnya yang juga mau berangkat ke kantornya. Seperti juga Pak Salim, Pak Suryo yang seorang staf keuangan di sebuah perusahaan swasta, harus berangkat pagi agar tidak terjebak kemacetan.

Dengan langkah gontai, bocah berambut ikal ini kembali ke ruang tengah sambil memegang mobil-mobilan kesayangannya. Sebuah replika mobil Formula One berwarna merah dengan nama Michael Schumacher di salah satu sisinya.
“Bukan Ayah yang datang! Tapi Pak Suryo berangkat kerja!”

Bunda hanya tersenyum miris melihat celoteh putra tunggalnya. Sebelum melanjutkan pekerjaannya menyiapkan sarapan, Bunda mengelus kepala Ali dengan penuh kasih sayang.

Ali kembali melanjutkan permainannya seorang diri. Memainkan kembali mobil-mobilan kesayangannya. Sebuah replika mobil Formula One berwarna merah dengan nama Michael Schumacher di salah satu sisinya.

Ali membayangkan kalau dirinya adalah Schumacher, juara dunia tujuh kali Formula One. Ali membayangkan kalau dirinya akan memacu mobil dengan kecepatan tinggi seperti yang selalu ia saksikan di televisi. Ali membayangkan bisa memacu mobilnya, mengalahkan semua lawan-lawannya dan melewati garis finish pertama kali.

Suara deru motor kembali terdengar cukup kencang dari arah depan rumah. Ali kecil lagi-lagi langsung berlari tergopoh-gopoh menuju ke ruang tamu.
“Ayah datang! Ayah datang!”

Tapi sesampainya di ruang tamu, Ali kecil yang mengintip dari jendela ruang tamu hanya bisa mendapatkan kekecewaan yang mendalam. Bukan sang ayah yang datang melainkan Mas Prasetya, tetangga yang tinggal dua rumah di sebelah kanan. Mas Pras begitu biasa dipanggil, baru saja pulang dari kantornya. Mas Pras bekerja sebagai seorang editor di sebuah stasiun televisi swasta. Ia selalu bekerja malam, makanya baru pada pagi hari pulang.
“Bukan Ayah yang datang! Tapi Mas Pras baru pulang!”

Bunda tidak menjawab. Bunda makin tersenyum miris melihat celoteh putra tunggalnya.
Ali kembali melanjutkan permainannya seorang diri. Memainkan kembali mobil-mobilan kesayangannya. Sebuah replika mobil Formula One berwarna merah dengan nama Michael Schumacher di salah satu sisinya.
Bunda kembali melanjutkan pekerjaannya menyiapkan sarapan bagi dirinya dan juga bagi Ali kecil.

Kini waktu telah menunjukkan pukul 09.45 WIB. Sudah sejam yang lalu, Bunda dan Ali sarapan. Kini, Bunda tengah sibuk menjahit pesanan Bu Mira. Sebuah kain kebaya yang akan dipakai saat putra sulungnya wisuda pekan depan. Selain pesanan Bu Mira, masih ada pesanan dari Mbak Sita yang minta dibuatkan blazer untuk busana kantornya. Juga ada pesanan dari Bu Lina berupa baju muslim. Menjahit dan menjahit. Hanya itulah yang bisa dilakukan Bunda untuk menghidupi dirinya dan Ali kecil. Hanya dari sinilah, Bunda bisa mendapatkan uang. Tidak ada pemasukan lain. Tidak juga dari ayah Ali. Seorang laki-laki yang hanya bisa menanamkan benih dalam rahim Bunda, tanpa pernah memberikan nafkah lahir batin kepada Bunda dan juga Ali.

Ali kecil, kini sedang sibuk dengan kertas gambar. Sibuk mencoret-coret kertas putih dengan krayon warna warninya. Menggambar apa saja yang ada dalam benaknya.

Suara deru motor kembali terdengar cukup kencang dari arah depan rumah. Ali kecil lagi-lagi langsung berlari tergopoh-gopoh menuju ke ruang tamu. Meninggalkan kerta gambarnya.
“Ayah datang! Ayah datang!”

Tapi sesampainya di ruang tamu, Ali kecil yang mengintip dari jendela ruang tamu hanya bisa mendapatkan kekecewaan yang mendalam. Bukan sang ayah yang datang melainkan kurir yang mengantarkan paket untuk Mbak Icha yang kost di rumah sebelah kiri rumah Ali. Sebuah paket yang mungkin datang dari pacar Mbak Icha yang katanya bermukim di Australia.
“Bukan Ayah yang datang! Tapi Pak Pos yang datang!”
Bunda kembali tersenyum mendengar celoteh Ali.

Ali kecil belum bisa membedakan mana Pak Pos, mana bapak pengantar paket. Bagi Ali, semuanya sama. Sama-sama mengantarkan barang, paket atau surat.

Ali kecil juga belum bisa membedakan suara motor Pak Salim, Pak Suryo, Mas Pras, Pak Pos atau kurir paket. Bagi Ali, suara motor Yamaha, Honda atau Suzuki sama saja. Sama-sama bunyi motor, tidak peduli dua tak, empat tak, baginya suara motor ya seragam.

Ali kecil kembali melanjutkan kesibukannya menggambar. Ali kecil mulai menggambar Ayah sedang naik motor bersama dirinya dan Bunda.

Suara deru motor kembali terdengar cukup kencang dari arah depan rumah. Ali kecil pun lagi-lagi langsung berlari tergopoh-gopoh menuju ke ruang tamu. Meninggalkan kerta gambarnya.
“Ayah datang! Ayah datang!”

Tapi sesampainya di ruang tamu, Ali kecil yang mengintip dari jendela ruang tamu hanya bisa mendapatkan kekecewaan yang mendalam. Bukan sang ayah yang datang melainkan kurir pengantar tagihan kartu kreditnya Pak Bambang, tetangga yang mengontrak tidak jauh dari rumah Ali. Setiap tanggal 15 setiap bulannya, Pak Bambang selalu mendapatkan surat tagihan kartu kreditnya.
“Bukan Ayah yang datang! Tapi Pak Pos yang datang!”

Bunda kembali tersenyum mendengar celoteh Ali. Tersenyum teramat sangat miris.

Ali kecil belum bisa membedakan mana Pak Pos, mana bapak pengantar paket atau pengantar tagihan kartu kredit. Bagi Ali, semuanya sama saja. Sama-sama mengantarkan barang, paket atau surat. Sama-sama mengirimkan barang yang harus didapatkan si penerima tepat waktu.

Ali kecil juga belum bisa membedakan suara motor Pak Salim, Pak Suryo, Mas Pras, Pak Pos, kurir paket atau pengantar tagihan kartu kredit. Bagi Ali, suara motor Yamaha, Honda atau Suzuki sama saja. Sama-sama bunyi motor, tidak peduli dua tak, empat tak, baginya suara motor ya seragam.

Dengan langkah gontai, Ali kecil menghampiri Bunda yang sedang menjahit kebaya pesanan Bu Mira. Ali memeluk Bunda. Mencari belaian kasih sayang Bunda.
“Bunda, kapan ayah pulang?”

Bunda tidak bisa menjawabnya. Tanpa disadari, airmata Bunda meleleh di pipinya. Hati Bunda semakin tidak kuasa melihat tatapan Ali, putra semata wayangnya yang tengah menanti jawaban.
“Bunda, kapan ayah pulang?”

Kembali Bunda tidak menjawabnya. Hatinya semakin perih apalagi melihat gambar Ali. Ayah, Bunda dan Ali sedang naik sepeda motor.
“Bunda, kapan ayah pulang?”
Lagi-lagi Bunda tidak bisa menjawab. Bunda hanya bisa mengelus kepala bocah empat setengah tahun ini dengan penuh kasih sayang. Ali kecil mungkin tidak pernah tahu kalau Ayah tidak akan pernah datang. Ayah lebih senang tinggal bersama istri tuanya dan juga anak-anaknya, yang tidak lain adalah kakak-kakak tiri Ali.
“Bunda, kapan ayah pulang?”

Jakarta, 29 Januari 2004 – 7 Februari 2006

Dodiek Adyttya Dwiwanto. Lulusan Ilmu Komunikasi FISIPOL Universitas Gadjah Mada. Tulisan-tulisannya seperti cerita pendek, resensi buku, dan artikel sepakbola dimuat di berbagai media cetak nasional. Saat ini, bekerja sebagai humas di sebuah perusahaan, selain juga menjadi kolumnis sepakbola di sebuah media cetak nasional.



Dikutip dari: kompas.com
...!!!Harap kunjungi situs Asli!!!!...
<<---Dan pilih iklannya agar kita saling menguntungkan--->>
Anda Mendapat Informasi, Merekapun Juga Dapat Income

Pesan dari www.cari-barang.com

0 komentar:

Posting Komentar

Total Pageviews