Pages

Rabu, 14 April 2010

Terlena Mimpi Abadi

JAM sudah menunjukkan pukul satu dini hari, tapi mataku masih terbuka lebar. Aku meringkuk di sudut kamar. Di sampingku tergeletak segelas kopi. Ini sudah gelas ketiga.

Aku tidak suka tidur, betapa pun lelahnya. Karena setiap kali tertidur, aku selalu mendapat mimpi buruk. Aku selalu bermimpi menjadi anak jalanan yang sendirian, kelaparan, dan kedinginan. Selalu memimpikan hal itu setiap hari, seolah kehidupanku dalam mimpi itu bersambung seperti drama televisi. Dalam mimpi, aku selalu berpikir ingin bunuh diri. Benar-benar mimpi yang menyedihkan.

Sudah ribuan kali orang tuaku menyuruhku untuk berkonsultasi ke dokter, tapi aku selalu menolak. Aku kan tidak gila, untuk apa datang ke rumah sakit seperti itu.

Jam di kamarku menunjukkan pukul setengah empat pagi, pengaruh kopi berkurang, dan aku pun mulai tertidur.

Aku tahu sekarang aku mulai bermimpi.

"HEI, BANGUN KAU!!! INI BUKAN TEMPAT TIDUR!" teriak seseorang di belakangku. Kurasakan percikan air dingin di wajahku.

Bahkan, dalam mimpi pun aku tertidur. Ah, mimpi ini lagi. Mimpi sebagai anak jalanan yang tidur di depan toko. Aku menatap wqjah orang itu sejenak, lalu beranjak pergi tanpa meminta maaf. Untuk apa meminta maaf, toh aku sedang bermimpi. Tiba-tiba aku merasa lapar, tapi aku tidak harus makan karena aku tahu ini mimpi.

"Hei, Uyo, kamu nggak lapar?" ujar Didi yang tiba-tiba datang dari belakang dan menepuk pundakku. Sungguh lucu, di dunia nyata dia adalah teman sebangkuku di kelas. Dia anak orang kaya, sama sepertiku, dan kami sama-sama bersekolah di SD paling elite di kota ini.

"Kita makan, yuk!" lanjutnya.

"Makan apa?" tanyaku. Kemudian Didi mengeluarkan bungkusan plastik dan menunjukkan isinya kepadaku. Dua buah roti goreng. "Ini dikasih sama tante yang jualan di sana," ujar Didi sambil menunjuk sebuah gerobak roti goreng. "Nggak ah, kamu makan sendiri aja, Di," jawabku sembari berjalan meninggalkannya.

"Sombong sekali kamu! Padahal, jarang sekali kita bisa makan makanan yang nggak basi," ujar Didi membiarkanku pergi. Kulihat dia melahap sendiri makanan itu. Lagi pula aku tidak butuh makan, ini kan mimpi. Ketika bangun nanti, aku bisa makan apa pun yang ada di dapur.

Ah, aku lelah. Kuputuskan untuk duduk sejenak di kursi taman.

Aku tertidur.

"Uyo, kenapa tidur di sini?" tanya Ibu. Akhirnya aku terbangun juga dari mimpi anak

jalanan itu. Aku segera bersiap ke sekolah, lalu berangkat dengan mobil diantar sopirku.

Di kelas, ketika aku melihat Didi, ingin tertawa rasanya mengingat mimpiku semalam.

Hari ini Didi memamerkan ponsel barunya kepadaku. Ponsel itu mirip sekali dengan milikku, tapi ponselku lebih mahal karena aku membeli edisi khusus.

Jam pelajaran sedang berlangsung dan mataku terasa berat. Mungkin karena semalam cuma tidur dua jam.

Suasana di sini bising sekali. Kulihat puluhan orang berpakaian hijau kecokelatan mengobrak-abrik dagangan pedagang di taman ini. Ada pedagang yang menangis karena mempertahankan dagangannya, ada yang diam dan hanya melihat dengan pasrah, serta ada yang terlibat adu pukul dengan beberapa orang berpakaian hijau kecokelatan itu.

Ah, kenapa aku bisa bermimpi seperti ini?

Situasi semakin kacau. Aku mulai mendengar suara tembakan dan jeritan. Tiba-tiba Didi muncul dan menarik lenganku dengan paksa. Aku pun berlari mengikutinya, tapi sejurus kemudian kami malah terjebak di dalam kerumunan orang. Mereka saling berteriak dan menghantam. Seseorang di antaranya berteriak sambil mengangkat sebuah pistol.

Kami -aku dan Didi- begitu ketakutan. Kami tidak bisa keluar dari kerumunan orang-­orang ini. Kami saling berpegangan tangan dengan erat. Tiba-tiba kulihat celah yang memungkinkan kami untuk keluar dan kerumunan ini. Kutarik tangan Didi agar kami bisa keluar dari kerumunan melalui celah itu.

Lalu, aku mendengar suara tembakan. Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Empat kali.

"Psssst psssst, bangun, Yo!" bisik Didi. Kulihat guruku sedang berdiri di hadapanku. Aku membetulkan posisi dudukku dengan tenang, seolah tidak melakukan kesalahan apa pun. Tenang saja, tidak ada guru di sekolah ini yang berani memarahiku karena orang tuaku adalah penyumbang dana terbesar di sini. Dan seperti yang kuduga, guru itu hanya tersenyum, lalu kembali menerangkan.

Setelah jam sekolah, kulihat salah satu di antara delapan mobil mewah yang ada di rumahku terparkir di halaman sekolah. Sopirku melambaikan tangan begitu melihatku datang. la juga langsung membawakan tas dan barang-barangku serta membukakan pintu untukku.

"Hari ini Tuan sama Nyonya mengajak Dek Uyo makan di restoran sepulang sekolah. Jadi, kita langsung ke sana," ujar sopirku sembari menyalakan mesin.

Tidak lama kemudian, kami sampai di sebuah restoran mewah. Sopirku membukakan pintu dan mengantarku ke meja orang tuaku, lalu segera kembali ke mobil.

Di meja telah terhidang aneka makanan favoritku.

Sebelum memulai makan, ibu bertanya kepadaku, "Liburan sudah dekat, kamu ingin berlibur ke mana?" Aku hanya tersenyum, lalu kami bertiga mulai makan.

Di perjalanan pulang, aku sempat tertidur. Anehnya, aku tidak bermimpi apa pun. Malamnya pun aku tidak bermimpi. Esoknya juga tidak. Minggu selanjutnya juga tidak. Bulan selanjutnya juga tidak.

Kerumunan orang itu terhenyak. Salah seorang di antara mereka kini berdiri di tengah, dengan wajah garang sembari memegang pistol. Dia hanya memiliki empat peluru dan kini peluru itu sudah habis. Empat mayat tergeletak berlumuran darah. Dua di antaranya masih anak-anak. Satu di antara anak-anak itu terjebak dalam mimpinya. Selamanya. ***

Anindya Paramaarti, Pelajar SMAN 1 Gresik



Dikutip dari: jawapos.com
...!!!Harap kunjungi situs Asli!!!!...
<<---Dan pilih iklannya agar kita saling menguntungkan--->>
Anda Mendapat Informasi, Merekapun Juga Dapat Income

Pesan dari www.cari-barang.com



0 komentar:

Posting Komentar

Total Pageviews