Pages

Kamis, 01 April 2010

Ponsel Kamera Punya Cilla

Oleh Abdul fatah

CILLA dibelikan sebuah ponsel baru berkamera oleh orang tuanya. Ponsel Cilla sebelumnya hanya memiliki fitur radio dan music player tanpa kamera. Cilla tentu saja senang. Ponselnya yang lama diwariskan kepada Mbak Rahma, babysitter adik bungsunya.

"Tapi, Cilla tidak boleh membawanya ke sekolah ya?" pinta Mama. "Ingat kan peraturan sekolah yang baru-baru ini dikeluarkan?"

"Iya. Tapi, Cilla menaruhnya di tas, kok. Tidak akan memamerkannya kepada teman-teman," Cilla berusaha berkelit. Dia sebenarnya takut juga kalau nanti pihak sekolah mengadakan razia dadakan. Bisa jadi ponselnya disita.

"Tetap tidak boleh, Sayang. Mama hanya mengizinkan kamu memakainya di luar lingkungan sekolah!" tegas Mama.

"Terus, buat apa dong Cilla dibelikan ponsel baru? Bagaimana cara Cilla menghubungi Mang Jamal nanti kalau butuh jemputan?"

Mama tertegun sejenak. Cilla memang agak keras kepala. Tapi, Mama sudah punya

jawaban pemungkas. "Pakai telepon umum saja. Pokoknya, urusan jemput-menjemput, Cilla tidak usah khawatir. Mang Jamal sudah Mama berikan jadwal pulang sekolah Cilla yang baru. Ok!" Mama mengedipkan matanya.

Cilla memang baru dua hari ini memasuki semester baru. Dia masih duduk di kelas lima SD Khatulistiwa. Sejak kelas empat, dia telah diamanahi sebuah ponsel. Fungsinya, agar Cilla dan kedua orang tuanya bisa berkomunikasi dengan mudah. Apalagi, Cilla termasuk anak yang sibuk dengan berbagai les di luar sekolah. Dengan ponsel tersebut, papa dan mama bisa mengontrol Cilla.

Ponsel baru berkamera ini memang menjadi hadiah bagi Cilla karena bisa mendapatkan ranking 1 di kelasnya. Meskipun ia diberi fasilitas ini-itu oleh orang tuanya, Cilla tetap rajin belajar. Dia sadar banyak anak seusianya yang tidak seberuntung dirinya.

"Oke, sekarang kamu bereskan kotak ponselmu. Dirawat dengan baik ya? Ingat, tidak boleh dibawa ke sekolah. Mama dan papa mau istirahat dulu."

Cilla segera beranjak ke kamarnya di lantai atas. Dia tak lupa membereskan kardus yang berisi kartu garansi, headshet, dan charger ponselnya. Dia menimang-nimang ponsel barunya yang ber-casing putih itu. Dia mencoba kameranya dengan menjepret benda-benda di kamar. Bonekanya dijepret. Sendal kamarnya difoto. Setangkai tulip dalam gelas kaca di atas lemarinya dia potret juga. "Hmm... Hasilnya bagus! Tidak mengecewakan."

Di satu sisi, Cilla senang bukan main. Dia senang melihat gambar dan foto-foto yang ada di komputer papanya yang seorang arsitek. Dia juga sering bereksperimen memotret dengan kamera digital milik papanya.

Sekarang dia punya ponsel berkamera sendiri. Hobi fotografinya bisa makin tersalurkan. Sayang, sekolahnya melarang siswa membawa ponsel ke sekolah. Yang ketahuan, orang tuanya akan dipanggil. Ketahuan kali kedua, diskors.

Cilla tahu alasan pihak sekolah setelah dijelaskan oleh mamanya begitu pulang dari rapat sekolah. "Pihak sekolah menemukan rekaman video yang tidak layak ditonton anak-anak di salah satu ponsel siswa kelas enam. Sekolah tentu saja khawatir. Oleh sebab itu, mama dan orang tua siswa diundang untuk membicarakan hal tersebut."

Cilla memaklumi. Tapi, dia juga tidak habis pikir. Beberapa hari setelah mama pulang menghadiri rapat, ia justru dibelikan sebuah ponsel baru. Punya kamera pula. Aneh, pikir Cilla.

Memang, sejak saat itu Cilla pun tidak berani membawa ponsel lamanya ke sekolah. Dia lebih takut sanksi dari sekolah. Kalau sampai dia melanggar dan ketahuan, bukankah hal itu akan membuat namanya dan nama baik orang tuanya jadi jelek? Apalagi, dia termasuk siswi berprestasi yang menjadi teladan bagi teman-temannya yang lain. "Ah, tak ada salahnya menuruti kata-kata mama."

Cilla pun membolehkan dirinya membawa ponsel barunya tersebut hanya pada waktu les di luar sekolah saja. Sepanjang jalan menuju tempat les, dia tak henti-hentinya menjepret kendaraan, orang, ataupun bangunan yang ada. Mang Jamal juga sering menjadi objek fotonya.

"Mang, lihat sini dong! Senyum ya?"

"Nanti saja, Non. Mang Jamal sedang konsentrasi nyetir nih!"

"Sekali saja!" Cilla memelas.

Mang Jamal pun menengok sambil menyengir. Klik! Tertangkap sudah di layar ponsel Cilla.

"Hahaha... Mang Jamal lucu! Coba deh liat, Mang. Ini apa? Hahaha..."

"Hahaha..." Tawa Mang Jamal meledak setelah Cilla menyodorkan ponselnya itu di depan Mang Jamal. Ternyata, ada potongan kulit cabai yang masih menempel di gigi Mang Jamal. Kontras sekali di antara gigi-gigi Mang Jamal yang terbilang besar-besar.

Di sebuah perempatan jalan, mobil berhenti. Lampu merah sedang menyala. Di perempatan itu, ada seorang ibu tua sedang menjajakan korannya kepada para pemilik kendaraan, terutama mobil. Ketika ibu tua itu mendekat, Cilla mengarahkan ponsel dan menghidupkan fitur kameranya. Klik!

"Bagaimana Mang Jamal? Bagus tidak?" tanya Cilla ketika mobil hampir mulai berjalan lagi. Mang Jamal mengangguk pelan-pelan. "Bagus! Non Cilla hebat sekali memotret.

Memang, buah tidak akan pernah jatuh terlampau jauh dari orang tuanya," puji Mang Jamal.

Cilla senyum bangga. Mang Jamal adalah orang ketiga yang memuji hasil jepretannya. Tentu saja setelah papa dan mamanya.

"Non Cilla, kenapa tidak dikirimkan saja foto tadi ke koran? Siapa tahu dimuat. Bagus, kok! Mang Jamal pernah baca di koran Nusantara kalau redaksinya menerima kiriman foto dari masyarakat. Bahkan, ada rubrik yang menampung karya anak-anak kayak Non Cilla lho!"

"Wah, yang benar, Mang? Nanti deh Cilla coba kirim kalau sudah sampai di rumah."

Sore itu Cilla bersemangat menjalani lesnya. Sesampainya di rumah, dia menemui papanya yang sedang di depan komputer. "Pa, Cilla mau mengirimkan foto ini ke redaksi koran Nusantara. Bisa bantu tidak, Pa, bagaimana caranya?"

Lalu, papa mengamati sebentar foto seorang ibu tua yang sedang menjajakan korannya tersebut. Sisi human interest-nya tertangkap dengan bagus. Papa pun langsung memindahkan foto tersebut melalui bluetooth ke dalam komputernya.

Papa kemudian membuka surat elektroniknya dan mengirim ke redaksi Nusantara. Rupanya, papa telah hapal betul alamat surat elektronik koran tersebut. Maklum, tulisan papa Cilla lumayan sering dimuat di koran-koran.

Dua hari kemudian, saat sarapan pagi, papa menyerahkan harian Nusantara kepada Cilla.

Sangat riang hati Cilla saat melihat foto hasil jepretannya dimuat di sana. "Mang Jamal, nanti lewat jalan yang menuju tempat les Cilla itu, ya?"

"Oke, Non! Selamat ya, fotonya sudah dimuat. Tuh, kan, percaya sama Mang Jamal. Hehehe..."

"Terima kasih, Mang. Tapi, Cilla mau berterima kasih kepada ibu penjual koran itu. Sekalian mau memberikan titipan mama ini kepada beliau." Cilla menunjukkan sebuah bungkusan yang berisi pakaian dan makanan. Cilla sendiri yang menyarankan hal itu kepada mama.

Di perempatan jalan, kebetulan lampu merahnya masih menyala lama. Cilla menengok kiri-kanan. Mencari sosok ibu tua penjual koran tersebut. Dia hanya menangkap dua sosok anak laki-laki yang sedang meloperkan koran-korannya. Mang Jamal menurunkan kaca jendela mobil dan bertanya kepada salah satu anak yang lebih tua.

"Lihat ibu tua yang jualan koran?"

Anak itu terdiam sebentar. "Itu ibu saya. Dua hari yang lalu meninggal. Ditabrak mobil saat pulang jualan koran."

Lampu hijau menyala. Mang Jamal segera mengambil bungkusan yang ada di samping Cilla. "Ini buatmu, Nak. Itu adikmu, ya?' tanya Mang Jamal sambil menunjuk anak yang satunya lagi.

Anak laki-laki itu mengangguk pelan.

Mang Jamal pun melajukan mobil. Cilla mulai terisak. ***

Penulis adalah pelajar , Hubungan Internasional Unair



Dikutip dari: jawapos.com
...!!!Harap kunjungi situs Asli!!!!...
<<---Dan pilih iklannya agar kita saling menguntungkan--->>
Anda Mendapat Informasi, Merekapun Juga Dapat Income

Pesan dari www.cari-barang.com

0 komentar:

Posting Komentar

Total Pageviews